Bacillus anthracis penyebab Anthrax


2.1 DEFINISI
Antraks yaitu penyakit infeksi menular akut yang disebabkan oleh bakteri Bachillus Anthrachis. Penyakit ini biasanya menjangkit hewan ternak, tetapi bisa juga menjangkit manusia yang hidup dekat dengan hewan.¹ Ada 4 jenis antraks yaitu: antraks kulit, antraks pada saluran pencernaan , antraks pada paru-paru , dan antraks meningitis.

Antraks disebut juga malignant pustule, malignant edema, Charbon, Ragpicker disease, atau Woolsorter disease, Radang limfa.²

2.2 Bacillus Anthrachis
Bachillus anthrachis termasuk dalam kingdom bacteria, phylum firmicutes, class bacilli, ordo bacilliales, family bacilliaceae, genus bacillus dan species B. anthracis.

Bakteri gram positif ini mempunyai ukuran 3-5m x 1-1.2 m. Berbentuk batang lurus dengan susunan dua-dua atau seperti rantai. Dinding sel dari bakteri ini merupakan polisakarida somatik yang terdiri dari N-asetilglukosamin dan D-galaktosa.

Selanjutnya, dalam sel bakteri antraks ini juga terdapat eksotoksin kompleks yang terdiri atas protective Ag (PA), lethal factor (LF), dan oedema factor (EF). Peran ketigannya itu terlihat sekali dalam menimbulkan gejala penyakit antraks. Tepatnya, ketiga komponen dari eksotoksin itu berperan bersama-sama. Protective Ag berfungsi untuk mengikat reseptor dan selanjutnya lethal factor. Sedangkan oedema factor akan memasuki sistem sel dari bakteri. Oedema factor merupakan adenilsiklase yang mampu meningkatkan cAMP sitoplasma sel, sedangkan fungsi spesifik dari lethal factor masih belum diketahui.

Pertahanan hidup
Dalam mempertahankan siklus hidupnya, Bacillus anthracis membentuk dua sistem pertahanan, yaitu kapsul dan spora. Dua bentuk inilah, terutama spora yang menyebabkan Bacillus anthracis dapat bertahan hidup hingga puluhan tahun lamanya.
Sedangkan kapsul merupakan suatu lapisan tipis yang menyelubungi dinding luar dari bakteri. Kapsul ini terdiri atas polipeptida berbobot molekul tinggi yang mengandung asam D-glutamat dan merupakan suatu hapten. Bacillus anthracis dapat membentuk kapsul pada rantai yang berderet. Pada media biasa, kapsul Bacillus anthracis tidak terbentuk kecuali pada galur Bacillus anthracis yang ganas.

Lebih jauh, bakteri ini akan membentuk kapsul dengan baik jika terdapat pada jaringan hewan yang mati atau pada media khusus yang mengandung natrium bikarbonat dengan konsentrasi karbondioksida (CO2) 5 persen. Kapsul inilah yang berperan dalam penghambatan fagositosis oleh sistem imun tubuh, dan juga dapat menentukan derajat keganasan atau virulensi bakteri.

Selain itu, Bacillus anthracis juga membentuk spora sebagai bentuk resting cells. Pembentukan spora akan terjadi apabila nutrisi esensial yang diperlukan tidak memenuhi kebutuhan untuk pertumbuhan, prosesnya disebut sporulasi. Spora berbentuk elips atau oval, letaknya sentral dengan diameter tidak lebih dari diameter bakteri itu sendiri. Spora Bacillus anthracis ini tidak terbentuk pada jaringan atau darah binatang yang hidup, spora tersebut tumbuh dengan baik di tanah maupun pada eksudat atau jaringan hewan yang mati karena antraks.

Di sinilah keistimewaan bakteri ini, apabila keadaan lingkungan sekitar menjadi baik kembali atau nutrisi esensial telah terpenuhi, spora akan berubah kembali menjadi bentuk bakteri. Spora-spora ini dapat terus bertahan hidup selama puluhan tahun dikarenakan sulit dirusak atau mati oleh pemanasan atau bahan kimia tertentu, sehingga bakteri tersebut bersifat dormant, hidup tapi tak berkembang biak.

Spora antraks tahan terhadap cuaca panas dan dingin dan akan aktif setelah masuk kedalam tubuh hewan. Pada tanah kering, spora akan bertahan selama 60 tahun. Spora akan mati pada suhu 100C (suhu air mendidih) dalam waktu 10 menit, pada karbol 5% dalam waktu 40 hari, pada formalin 10% dalam waktu 4 jam, dan pada hidrogen peroksida dalam waktu 1jam.

Kuman antraks dapat tumbuh optimal pada media umum di labiratorium, misalnya pada media agar bernutrisi atau media agar darah pada suhu 37C dan pH 7-7,4. Bakteri vegetatif mudah mati oleh antibiotik, disinfektan, atau antiseptik. Kuman mati pada suhu 54C dalam waktu 30 menit.²

2.3 PENULARAN
Penularan antraks pada manusia biasanya melalui cara-cara berikut: 1. kontak dengan kulit manusia yang lesi, lecet, atau abrasi; 2. mengonsumsi daging yang terkontaminasi kuman vegetatif atau spora melalui tangan; 3. menghisap spora di tempat kerja yang berkaitan dengan produk hewan; 4. digigit serangga yang baru saja mengigit hewan infektif (jarang).
Spora hasil rekayasa genetik dapat dikirimkan melalui surat dan produk pos lainnya. Spora yang berukuran 1-3m bisa melewati pori-pori amplop kertas yang besarnya 10 m. Dengan demikian, spora akan berhamburan jika amplop digoyang atau digerakkan, dan spora tersebut bisa terhisap atau menempel pada tangan manusia.

2.4 PATOGENESIS
Setelah endospora masuk ke dalam tubuh manusia, melalui luka pada kulit, inhalasi (ruang alveolar) atau makanan (mukosa gastrointestinal), kuman akan difagosit oleh makrofag dan dibawa ke kelenjar getah bening regional. Pada antraks kutaneus dan gastrointestinal terjadi germinasi tingkat rendah di lokasi primer yang menimbulkan edema lokal dan nekrosis. Endospora akan mengalami germinasi di dalam makrofag menjadi bentuk vegetatif. Bentuk vegetatif akan keluar dari makrofag, berkembang biak di dalam sistem limfatik, mengakibatkan limfadenitis hemoragik regional, kemudian masuk ke dalam sirkulasi, dan menyebabkan septikemia.

Faktor virulensi utama B.anthracis dicirikan (encoded) pada dua plasmid virulen yaitu pXO1 dan pXO2. Plasmid pXO1 mengandung gen yang memproduksi kompleks toksin antraks berupa faktor letal, faktor edema, dan antigen protektif. Antigen protektif merupakan komponen yang berguna untuk berikatan dengan reseptor toksin antraks (ATR = Anthrax Toxin Receptor) di permukaan sel. Setelah berikatan dengan reseptor maka oleh furin protease permukaan sel, antigen protektif yang berukuran 83-kDa itu membelah menjadi bentuk 63-kDa dan selanjutnya bentuk itu akan mengalami oligomerisasi menjadi bentuk heptamer.

Pembelahan antigen protektif diperlukan agar tersedia tempat pengikatan FL dan atau FE. Antigen protektif yang telah mengalami pembelahan, bersama reseptornya akan melakukan pengelompokan ke dalam lipid rafts sel kemudian mengalami endositosis. Melalui lubang yang terbentuk terjadilah translokasi FE dan FL ke dalam sitosol yang selanjutnya dapat menimbulkan edema, nekrosis, dan hipoksia. FE merupakan calmodulin-dependent adenylate cyclase yang mengubah adenosine triphosphate (ATP) menjadi cy-clic adenosine monophosphate (cAMP) yang menyebabkan edema. FE menghambat fungsi netrofil dan aktivitas oksidatif sel polimormonuklear (PMN). FL merupakan zinc metal-loprotease yang menghambat aktifitas mitogen-activated protein kinase kinase (MAPKK) in vitro dan dapat menyebabkan hambatan signal intraselular. FL menyebabkan makrofag melepaskan tumor necrosis-α (TNF-α) dan interleukin-1 (IL-1) yang merupakan salah satu faktor penyebab kematian mendadak. Sebagai respon terhadap toxin, tubuh akan membentuk cytokines(TNF-α, dan IL-1) dan vasodilator substance (nitric oxide, prostaglandin E₂, prostacycline) yang disebut juga proinflamatory cytokines. Pada waktu yang bersamaan tubuh membentuk anti inflamatory cytokines (IL-10, IL-11, IL-13 dsb). Bila keduanya seimbang akan terjadi homeostasis, bila proinflamatory lebih dominan, maka akan terjadi Systemic Inflamatory Respons (SIRS). Plasmid pXO2 mengkode tiga gen (capB, capC dan capA) yang terlibat dalam sintesis kapsul polyglutamyl. Kapsul menghambat proses fagositosis bentuk vegetatif B.anthracis.¹

2.5 GEJALA KLINIS
2.5.1 Anthraks inhalasi
Anthraks inhalasi dimulai dengan masuknya spora kedalam rongga alveolar, kemudian makrofag akan memfagosit spora dan sebagian dari spora akan lisis dan rusak. Spora yang tetap hidup akan menyebar ke kelenjar getah bening dan kelenjar mediastinal. Proses perubahan bentuk vegetatif terjadi kurang lebih 60 hari kemudian. Lambatnya proses perubahan bentuk tidak diketahui dengan pasti, akan tetapi terdokumentasi dengan baik di Sverdlovsk bahwa kasus anthraks inhalasi terjadi antara hari ke-2 hingga hari ke-43 setelah terpajan. Sekali proses germinasi terjadi, penyakit akan timbul secara cepat dan replikasi bakteri menyebabkan perdarahan, edema, dan nekrosis. Pada monyet percobaan keadaan fatal terjadi pada hari ke-58 hingga ke-98 setelah terpajan.

Istilah antraks pneumonia tidak digunakan karena ternyata setelah dilakukan pemeriksaan patologis kelainan yang didapat terutama berupa torakal limfadenitis hemorhagis dan mediastinitis tanpa bronkopneumonia tipikal.

Akan tetapi pada kejadian antraks inhalasi di Sverdlovsk, 25% kasus fatal ditemukan perdarahan fokal dan lesi nekrosis pulmonar (mengingatkan kepada lesi Ghon’s fokal dari tuberkulosis primer).

Secara klasik gejala klinis antraks inhalasi bersifat bifasik. Pada fase awal, 1-6 hari setelah masa inkubasi timbul gejala yang tidak khas berupa demam ringan, malaise, batuk nonproduktif, nyeri dada atau perut, dan biasanya tanpa disertai kelainan fisik, penyakit akan masuk ke dalam fase ke-dua. Pada fase tersebut secara mendadak timbul demam, sesak napas akut, diaforesis, dan sianosis. Akibat pembesaran kelenjar getah bening, pelebaran mediastinum, dan edema subkutan di dada dan leher yang dapat menimbulkan obstruksi trakea maka stridor dapat terjadi. Manifestasi klinis antraks inhalasi dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan manifestasi radiologis dan patologis dapat dilihat pada Tabel 2.¹

2.5.2 Antraks Kulit
Hampir pada 95% kasus antraks yang terjadi di AS merupakan antraks kulit. Penderita biasanya memiliki riwayat kontak dengan binatang atau produknya. Beberapa kasus dilaporkan terjangkit antraks kulit akibat gigitan serangga yang diduga terinfeksi akibat memakan bangkai yang mengandung antraks. Daerah yang terkena terutama muka, ekstremitas, atau leher. Endospora masuk melalui kulit yang lecet atau luka.

Satu hingga tujuh hari setelah endospora masuk, terbentuk lesi kulit primer yang tidak nyeri dan papula yang gatal. Duapuluh empat sampai 36 jam kemudian lesi membentuk vesikel yang berisi cairan jernih atau serosanguineus, dan mengandung banyak kuman Gram positif. Vesikel kemudian mengalami nekrosis sentral, mengering dan menimbulkan eskar (ulkus nekrotik) kehitaman yang khas yang dikelilingi edema dan vesikel keunguan. Edema biasanya terjadi lebih hebat pada kepala atau leher dibandingkan badan atau tungkai. Limfangitis dan limfadenopati yang nyeri dapat ditemukan mengikuti gejala sistemik yang terjadi.

Walaupun antraks kulit dapat sembuh sendiri, akan tetapi antibiotik tetap perlu diberikan (dapat mengurangi gejala sistemik yang terjadi). Pada 80-90% kasus lesi sembuh secara sempurna tanpa komplikasi atau jaringan parut. Edema maligna jarang terjadi, ditandai dengan edema hebat, indurasi, bula multipel, dan syok. Edema maligna dapat terjadi pada leher dan daerah dada yang menyebabkan kesulitan bernapas, sehingga diperlukan kortikosteroid atau intubasi.

2.5.3 Antraks Gastrointestinal
Antraks gastrointestinal, walaupun dapat berakibat fatal, belum pernah dilaporkan di AS. Gejala biasanya timbul 2-5 hari setelah memakan daging mentah atau kurang matang yang terkontaminasi kuman. Beberapa kasus dapat terjadi di dalam satu rumah. Pada pemeriksaan patologi dengan menggunakan mikroskop dapat ditemukan basil dalam mukosa dan submukosa jaringan limfe dan limfadenitis mesenterika. Ulserasi hampir selalu ditemukan. Pada jaringan di sekitar tempat infeksi ditemukan edema masif dan nekrosis.

Sejumlah besar kuman Gram positif dapat ditemukan pada cairan peritoneal. Pelebaran mediastinum dapat juga terjadi.Gejala klinis berupa demam, nyeri abdomen difus, konstipasi, atau diare. Oleh karena ulserasi yang terjadi maka buang air besar atau muntah menjadi kehitaman atau kemerahan. Dapat terjadi asites yang jernih sampai purulen (bila dilakukan kultur sering ditemukan koloni B. Anthracis)

Kematian terjadi akibat perdarahan, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, perforasi, syok, atau toksemia. Bila penderita dapat bertahan hidup maka sebagian besar gejala akan hilang dalam 10-14 hari. Pengendapan dan germinasi spora di orofaring dapat menimbulkan antraks orofaring. Gejala klinis berupa sakit teggorokan yang hebat, demam, disfagia, dan terkadang karena limfadenitis dan edema masif dapat terjadi respiratory distress.

2.5.4 Antraks Meningitis
Meningitis antraks merupakan penyakit antraks yang paling jarang terjadi. Penyakit itu timbul akibat bakteremia yang terjadi setelah antraks inhalasi. Pada sebagian besar kasus cairan serebrospinalis menjadi hemoragik dan sejumlah besar kuman basil Gram positif dapat ditemukan. Angka kematian hampir mencapai 100%, akan tetapi terkadang dengan pemberian antibiotik penderita dapat bertahan hidup.¹ Tipe ini biasanya merupakan komplikasi dari tipe-tipe lain.²

2.6 DIAGNOSIS
Kelainan kulit berupa ulkus yang dangkal disertai krusta hitam yang tidak nyeri patut dicurigai suatu anthraks kulit. Ditemukannya basil Gram positif pada pemeriksaan cairan vesikel merupakan temuan yang khas pada anthraks kulit tetapi diagnosis pasti baru dapat ditegakkan bila biakan kuman positif.

Karena mirip penyakit gastrointestinal lainnya maka antraks gastrointestinal sering sulit didiagnosis. Adanya riwayat makan daging yang dicurigai mengandung kuman antraks disertai dengan gejala nause, anoreksia, muntah, demam, nyeri perut, hematemesis, dan diare (biasanya disertai darah) sangat membantu penegakan diagnosis penyakit antraks. Dari pewarnaan Gram yang dilakukan, bahan diambil dari darah dan atau cairan asites, dapat ditemukan basil antraks. Untuk pemeriksaan biakan, bahan diambil dari apusan faring (antraks faring), darah, dan cairan asites.

Diagnosis antraks inhalasi juga sulit ditegakkan. Seseorang yang tiba-tiba mengalami gejala seperti flu yang mengalami perburukan secara cepat dan disertai hasil pemeriksaan foto toraks menunjukkan pelebaran mediastinum, infiltrat, dan atau efusi pleura, sangat patut dicurigai menderita antraks inhalasi (apalagi bila pada penderita tersebut juga ditemukan antraks kulit).

Pada pewarnaan Gram bahan diambil dari darah, cairan pleura, cairan serebrospinalis, dan lesi kulit, dapat ditemukan basil antraks. Untuk pemeriksaan biakan bahan diambil dari darah, cairan pleura, cairan serebrospinalis, dan lesi kulit. Pada pemeriksaan langsung pewarnaan Gram dari lesi kulit, cairan serospinal atau darah yang mengandung kuman antraks akan menunjukkan basil besar, encapsulated, dan Gram positif. Pada kultur darah tampak pertumbuhan pada agar darah domba berupa koloni nonhemolitik, besar, nonmotil, Gram positif, berbentuk spora, dan tidak tumbuh pada agar Mac Conkey.

Nilai prediksi pemeriksaan kultur apusan hidung (swab nasal) untuk menentukan antraks inhalasi belum diketahui dan belum pernah diuji. Oleh karena itu CDC tidak menganjurkan pemeriksaan tersebut sebagai pemeriksaan diagnostik klinis.

Tes serologis berguna secara retrospektif dan membutuhkan dua kali pengambilan yaitu pada fase akut dan penyembuhan. Pemeriksaan dengan menggunakan cara ELISA untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen protektif dan antigen kapsul.

2.7 PENATALAKSANAAN
2.7.1 Pengobatan
Pemberian antibiotik intravena direkomendasikan pada kasus antraks inhalasi, gastrointestinal dan meningitis. Pemberian antibiotik topikal tidak dianjurkan pada antraks kulit Antraks kulit dengan gejala sistemik, edema luas, atau lesi di kepala dan leher juga membutuhkan antibiotik intravena. Walaupun sudah ditangani secara dini dan adekuat, prognosis antraks inhalasi, gastrointestinal, dan meningeal tetap buruk. B. anthracis alami resisten terhadap antibiotik yang sering dipergunakan pada penanganan sepsis seperti sefalosporin dengan spektrum yang diperluas tetapi hampir sebagian besar kuman sensitif terhadap penisilin, doksisiklin, siprofloksasin, kloramfenikol, vankomisin, sefazolin, klindamisin, rifampisin, imipenem, aminoglikosida, sefazolin, tetrasiklin, linezolid, dan makrolid. Bagi penderita yang alergi terhadap penisilin maka kloramfenikol, eritromisin, tetrasikilin, atau siprofloksasin dapat diberikan.

Pada antraks kulit dan intestinal yang bukan karena bioterorisme, maka pemberian antibiotik harus tetap dilanjutkan hingga paling tidak 14 hari setelah gejala reda. Jenis antibiotik yang dapat digunakan dapat dilihat pada Tabel 3. Oleh karena antraks inhalasi secara cepat dapat memburuk, maka pemberiaan antibiotik sedini mungkin sangat perlu. Keterlambatan pemberian antibiotik sangat mengurangi angka kemungkinan hidup. Oleh karena pemeriksaan mikrobiologis yang cepat masih sulit dilakukan maka setiap orang yang memiliki risiko tinggi terkena antraks harus segera diberikan antibiotik sambil menunggu hasil pemeriksaan laboratorium. Sampai saat ini belum ada studi klinis terkontrol mengenai pengobatan antraks inhalasi. Untuk kasus antraks inhalasi Food and Drug Administration (FDA) menganjurkan penisilin, doksisiklin, dan siprofloksasin sebagai antibiotik pilihan.

Setelah serangan antraks yang terjadi pada tahun 2001 di AS dan berdasarkan uji kepekaan yang dilakukan, CDC menganjurkan kombinasi 2-3 antibiotik untuk pengobatan antraks inhalasi. Pemberian dua atau lebih antibiotik intravena dikatakan sangat bermanfaat meningkatkan angka harapan hidup. Mengingat kemungkinan rekayasa kuman pada antraks inhalasi akibat serangan bioterorisme (kuman menjadi resisten terhadap satu atau lebih antibiotik) juga menjadi salah satu alasan pemberian kombinasi antibiotik ini.

Pada binatang percobaan pemberian antibiotik pada infeksi antraks dapat menekan respon kekebalan. Walaupun seseorang yang menderita antraks inhalasi tetap hidup setelah pemberian antibiotik, mengingat proses germinasi spora dapat tertunda, maka kemungkinan kambuh dapat terjadi. Oleh karena itu bagi penderita antraks inhalasi atau seseorang yang terpapar dengan spora antraks secara inhalasi, para ahli menganjurkan pemberian antibiotik harus dilanjutkan paling tidak hingga 60 hari (bila keadaan klinis telah stabil dan penderita telah dapat makan dan minum dengan baik maka pemberian antibiotik dapat diganti menjadi oral).

2.7.2 Profilaksis Setelah Terpajan
Karena antraks berasal dari bioterorisme mungkin dilakukan perubahan strain yang resisten terhadap beberapa antibiotik maka siprofloksasin merupakan obat pilihan utama. Mengingat kemungkinan adanya β-laktamase maka oleh CDC pemberian amoksisilin sebagai profilaksis setelah pajanan hanya dapat diberikan setelah 10-14 hari pemberian fluorokuinolon atau doksisiklin atau bila terdapat kontra indikasi terhadap dua jenis tersebut (misalnya ibu hamil, menyusui, usia < style="font-weight: bold;">2.7.3 Vaksinasi

Di AS pemberian vaksin antraks (anthrax vaccine adsorbed/AVA) terhadap kelompok risiko tinggi terpajan spora sudah rutin dilakukan. Sebanyak 0,5 ml AVA yang disuntikkan secara subkutan diberikan pada minggu ke 0, 2, dan 4, dan bulan ke 6, 12, dan 18, selanjutnya booster dilakukan setiap tahun. Para ahli yang terdapat pada kelompok kerja pertahanan sipil di AS mengemukakan bahwa pada penduduk yang terpajan kuman antraks akibat bioterorisme maka pemberian antibiotik selama 60 hari setelah pajanan ditambah dengan vaksinasi akan memberikan proteksi yang optimal. Seperti vaksin pada umumnya, vaksin antraks juga menyebabkan rasa sakit, kemerahan, rasa gatal, pembengkakan dan benjolan pada daerah suntikan. Sekitar 30% laki-laki dan 60% wanita melaporkan reaksi lokal ini, tapi biasanya hanya untuk waktu yang tidak lama. Benjolan dapat menetap selama beberapa minggu kemudian menghilang. Diluar daerah suntikan, 5-35% melaporkan adanya rasa sakit pada otot, sendi, sakit kepala, demam, menggigil, mual, kehilangan nafsu makan dan kelemahan. Tapi gejala-gejala ini biasanya menghilang setelah beberapa hari. Vaksin antraks diberikan kepada orang-orang yang berhubungan dengan tempat pengolahan produk ternak import dan orang-orang yang terlibat dalam kegiatan diagnostik dan penyelidikan yang memungkinkan mereka kontak dengan spora antraks. Vaksin hanya diberikan kepada laki-laki dan perempuan sehat berusia 18 sampai 65 tahun. Karena belum diketahui apakah dapat menyebabkan kelainan janin, maka vaksin ini tidak diberikan kepada wanita hamil. Vaksin ini tidak boleh diberikan kepada orang dengan :Reaksi hipersensitivitas, Infeksi HIV, Reaksi immuno-supresif, Wanita hamil, Usia <18>65 tahun, Penyakit pernafasan akut atau infeksi aktif, Pemakaian obat imuno-supresan seperti steroid (mis. Prednison).

Sedangkan orang-orang dengan riwayat penyakit autoimun seperti artritis rematoid, lupus, multiple sklerosis, penyakit nerologis dan riwayat polio pada masa kanak-kanak, kemungkinan akan mengalami reaksi advers yang lebih serius.
Sumber lain menyebutkan bahwa imunisasi rutin dengan vaksin antraks tidaklah direkomendasikan. Vaksin ini tidak dapat digunakan untuk mencegah terjadinya antraks setelah terjadi paparan dengan bakteri B. Anthracis.¹¹

2.7.4 Pengendalian Infeksi dan Dekontaminasi
Belum pernah ada laporan yang mengatakan adanya transmisi antraks dari manusia ke manusia baik di komunitas maupun di rumah sakit. Oleh karena itu penderita antraks dapat dirawat di ruang rawat biasa dengan tindakan pencegahan yang umum dilakukan. Menghindari kontak terhadap penderita hanya diberlakukan pada penderita antraks kulit dengan lesi yang berair. Pakaian yang terkena cairan lesi kulit atau alat-alat laboratorium yang terkontaminasi sebaiknya dibakar atau dimasukkan ke dalam autoklaf.

Dekontaminasi dapat dilakukan dengan memberikan larutan sporosidal yang biasa dipakai di rumah sakit pada tempat yang terkontaminasi. Bahan pemutih atau larutan hipoklorit 0,5% dapat dipergunakan untuk dekontaminasi.

2.8 PROGNOSIS
Prognosis untuk antraks kulit adalah baik, sedangkan untuk antraks deseminata (terutama pulmonal dan meningitis) adalah jelek, angka kematiannya mencapai 25-75%

2.9 PENCEGAHAN
Upaya yang dapat dilakukan dalam rangka pencegahan antraks adalah sebagai berikut:
1. penyembelihan hewan hanya dilakukan di rumah potong, diluar tempat itu harus ada izin dinas peternakan setempat.
2. hewan yang dicurigai sakit antraks tidak boleh disembelih.
3. daging hewan yang dicurigai sakit antraks tidak boleh dikonsumsi.
4. tidak boleh sembarangan memandikan orang yang meninggal karena sakit antraks.
5. dilarang memproduksi barang yang berasal dari kulit, tanduk, bulu, atau tulang hewan yang sakit atau mati karena antraks.
6. melapor ke puskesmas atau dinas peternakan setempat apabila menemukan ada hewan yang diduga menderita antraks.
7. melakukan vaksinasi antraks pada hewan ternak.

DAFTAR PUSTAKA

1. Pohan, Herdiman T.2005.Patogenesis, Diagnosis dan Penatalaksanaan Antraks. Majalah Kedokteran Indonesia.

2. Widoyono.2002.Penyakit Tropis:epidemiologi,penularan,pencegahan,dan pemberantasannya.Erlangga Medical Series.Jakarta

3. http://74.125.153.132/search?q=cache:5telxHyPAc0J:www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_154_Kesehatankerja.pdf+presentasi+biologi+sel+dasar+antraks&cd=8&hl=id&ct=clnk&gl=id

4. http://witarto.wordpress.com/2008/01/16/mengenal-bacillus-anthracis/

5. Lucius, Alvin, dkk. Presentasi Biologi Sel Dasar

6. www.infeks-iPusat Informasi Penyakit Infeksi - PENYAKIT – Antrax.com

7. http://www.utoronto.ca/greenblattlab/images/a/anthrax_bacteria.jpg

8. http://www.bio.davidson.edu/people/sosarafova/Assets/Bio307/javaron/Life%20

9. www.standeyo.com

10. www.bt.cdc.gov/.../lab-testing/algorithm.asp

11. http://wishard.kramesonline.com/Medications/26,2708

Comments

Popular posts from this blog

ASUHAN DASAR BAYI MUDA : MENCEGAH INFEKSI

Konjungtivitis Flikten

Appendicitis Akut dan Appendicitis Infiltrat